Penyelesaian Perkara Anak dengan Diversi
Era baru pendekatan sistem hukum peradilan pidana anak sejak berlakunya Undang-Undang SPPA jauh berbeda dengan saat masih berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut tidak mengenal proses pengalihan penyelesaian perkara yang melibatkan anak (pelaku) di luar peradilan anak yang selama ini dilalui dengan proses persidangan, dimana istilah tersebut lebih popular saat ini dengan istilah diversi. Dalam Undang-Undang SPPA yang baru, seorang anak (pelaku) yang sudah berumur 12 (dua belas) tahun dan belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang sudah berumur 12 (dua belas tahun) meskipun sudah pernah kawin dan belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun tetapi sudah kawin, pada saat diproses baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan pada saat anak diperiksa di Pengadilan Negeri maka pada setiap tingkatan pemeriksaan tersebut wajib dilakukan diversi, walupun dalam hal proses diversi ada pembatasan bahwa yang bisa di-diversi adalah tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun dan termasuk di atas 7 (tujuh) tahun atau lebih, apabila bentuk surat dakwaannya berbentuk subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi, dan termasuk yang tidak bisa lagi di-diversi adalah anak yang melakukan pengulangan tindak pidana walaupun tindak pidana yang dilakukan anak tersebut tidak sejenis dengan tindak pidana terdahulu.
Diversi dalam Undang-Undang SPPA memang menjadi salah satu ciri pembeda dengan aturan yang terdahulu (UU Nomor 3 Tahun 1997), dan penulis yakin bahwa istilah diversi adalah istilah yang masih awam dan masih terasa asing (alienisasi) ditelinga kita, apa sih yang dimaksud dengan "Diversi"?. Konsep diversi di Indonesia memang merupakan hal yang baru dan baru kita kenal sejak Undang-Undang SPPA diundangkan walupun sebenarnya istilah diversi di beberapa negara sudah lama dikenal seperti konsep diversi sudah mulai dikenal di Amerika Serikat dan Australia sebelum tahun 1960. Diversi dalam pengertian gramatikal adalah "pengalihan" sedangkan pengertian umum diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana formal ke proses di luar peradilan pidana dengan syarat atau tanpa syarat. Dalam Pasal 1 angka (7) Undang-Undang SPPA, diversi didefenisikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Secara umum proses diversi ini dilakukan dengan tujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak (pelaku), menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Peran serta Masyarakat
Ciri khas lain dalam Undang-Undang SPPA, yakni memberikan peran serta kepada masyarakat untuk berperan aktif, dimana masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial anak, sehingga dalam menjalankan Undang-Undang SPPA ini bukan hanya menjadi kewajiban penegak hukum tetapi termasuk kepada kita masyarakat umum diberikan ruang dan gerak untuk ikut aktif melaksanakan perintah Undang-Undang SPPA tersebut. Sebagai contoh peran serta masyarakat pada saat proses diversi dilaksanakan di setiap tingkatan dapat dihadirkan perwakilan masyarakat (tokoh masyarakat) yang dapat dimintai pendapat oleh fasilitator baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan pada saat proses di Pengadilan Negeri mengenai hal yang terbaik kepada si anak (pelaku). Berbeda ketika masih berlakuknya rezim Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang sama sekali tidak memberikan ruang dan gerak kepada masyarakat untuk ikut terlibat dalam menyelesaikan suatu perkara pidana yang melibatkan anak.
Semoga tulisan singkat ini memberikan kita pemahaman dan gambaran yang baru tentang sistem peradilan pidana anak yang saat ini sudah mulai berlaku sejak efektifnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA per 31 Juli 2014.
Penulis: Muliyawan, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Palopo, artikel sama pernah dimuat di surat kabar harian Palopo Pos