Artikel
Tinggal menghitung jam, sebagian rakyat Indonesia akan menghelat pesta demokrasi berupa pilkada (pemilihan kepala daerah) yang dilaksanakan secara serentak di sebagian besar wilayah Indonesia pada tanggal 9 Desember 2015. Begitu sakralnya pesta demokrasi tersebut sampai-sampai Presiden menerbitkan Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 25 Tahun 2015 yang menetapkan pilkada serentak tersebut sebagai hari libur nasional. Ditetapkannya tanggal 9 Desember 2015 sebagai hari libur nasional tentu bertujuan agar segenap rakyat Indonesia yang di tempatnya akan dilaksankan pesta demokrasi berupa pilkada agar mempergunakan haknya dengan cara memberikan suaranya dengan memilih salah satu calon kepala daerah (pemimpin) yang dianggap mampu menjadi pemimpin segala lapisan masyarakat tanpa melihat suku, ras dan agama rakyat yang dipimpinnya, walapun mencari calon pemimpin seperti itu bukanlah hal yang mudah.
Tinggal menghitung hari, kita akan memasuki era pasar bebas tingkat Asia (Asian Free Trade Market) atau dalam istilah lain disebut MEA (Masyarakat Ekonomi Asia) yang akan dimulai pada bulan Desember tahun 2015, sehingga dalam rangka memasuki AFTA, setiap pelaku bisnis harus mengerti tentang seluk beluk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana yang diatur dalam UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Di negara lain keberadaan Undang-Undang Anti Monopoli sebenarnya sudah sangat tua. Di Amerika Serikat, keberadaan Undang-Undang tersebut sudah berumur lebih dari 100 tahun yang dikenal dengan nama Shermant Act. Di Kanada pada tahun 1889 Undang-Undang semacam itu sudah dikenal, di Jepang umurnya sekitar 40 tahun, di Jerman umurnya sekitar 60 tahun dan terdapat lembaga pengawas dengan nama Bundes Kartel Amm. Dan di Eropa sudah lama dikenal perjanjian di antara negara-negara Eropa untuk menyelesaikan perkara-perkara atau kasus-kasus monopoli yang terjadi yang dilakukan secara cross border atau dilakukan secara lintas batas di berbagai negara Eropa.
Berbeda dengan Indonesia nanti setelah dilanda berbagai krisis, mulai dari krisis keuangan, ekonomi kemudian krisis multi-dimensi barulah pada tahun 1999, tepatnya bulan Maret Undang-Undang tentang monopoli diterbitkan, padahal diskusi-diskusi tentang pentingnya Undang-Undang Anti Monopoli sudah lama dibicarakan, hal ini sudah menunjukkan begitu lambatnya kita merespon perkembangan hukum yang sedang berlangsung saat ini yang setiap detik mengalami perubahan terutama hukum yang mengatur mengenai masalah bisnis.
Korupsi saat ini sudah menjadi trend dimana-mana, yang melakukan korupsi pun sudah tidak mengenal kelas dan strata lagi, mulai dari level menteri, sampai kepada level kepala desa, korupsi pun kini sudah mulai menjalar sampai ke penegak hukum dan swasta. Bahkan yang menyandang status PNS (Pegawai Negeri Sipil) pun, tanpa disadari dalam kesehariannya telah melakukan perilaku korupsi kecil-kecilan dengan modus "terlambat masuk kantor dan cepat pulang sebelum waktunya" padahal telah digaji oleh negara dengan jam kantor yang sudah ditentukan.
Perilaku korup memang sudah menggurita dan sudah menjadi kanker ganas stadium empat yang susah disembuhkan dan yang lebih parah lagi terduga korupsi pun sudah tidak mempunyai rasa malu lagi tampil di depan publik. Lihat saja ketika mereka diwawancarai oleh awak media (cetak maupun elektonik) mereka tidak menampakkan wajah penyesalan apalagi perasaan bersalah dan dengan enteng mereka menjawab "kan ini baru dugaan belum tentu kami bersalah dan kita harus menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah".
Banyak orang yang bertanya, apakah korupsi yang sudah mengakar dimana-mana masih bisa diberantas sampai ke akar-akarnya, sehingga korupsi tidak ada lagi di muka bumi ini, terutama di negeri tercinta Indonesia? Jika kita realistis tentu jawabannya "TIDAK" tetapi yang bisa dilakukan adalah bagaimana mengurangi perilaku korupsi dengan cara mencabut akar-akar korupsi tersebut, yang akarnya adalah kebodohan dan kemiskinan, karena dari kebodohanlah yang melahirkan kemiskinan dan kemiskinan yang bisa membuat orang berperilaku korup.
1. PENDAHULUAN
Sudah menjadi pengetahuan umum bagi akademisi hukum, mahasiswa hukum bahkan para penegak hukum di Indonesia bahwa sistem hukum yang digunakan saat ini adalah sistem hukum yang berpaham legal positivistik, dalam artian dalam menegakkan aturan hukum selalu mengacu kepada konteks aturan tertulis apa yang menjadi teks undang-undang itulah yang mesti diterapkan tanpa perlu mempertimbangkan apakah aturan perundang-undangan yang akan diterapkan tersebut sudah adil atau tidak. Dalam hal ini menurut Satjipto Rahardjo bahwa hukum lazim tampil sebagai bangunan peraturan perundang-undangan, dan itulah brand mark yang banyak dikenal orang. Jika kita berurusan dengan hukum, maka kita berhadapan dengan dunia peraturan perundang-undangan.
- Prosedur Berperkara
- Penelusuran Perkara
- Jadwal Sidang
- Direktori Putusan
Anda bingung bagaimana berperkara di Pengadilan?
Silakan membaca bagaimana prosedur berperkara dan biaya berperkara yang berlaku saat ini pada Pengadilan Negeri Palopo.
Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP)
Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) memuat informasi detail perkara, jadwal sidang dan statistik perkara pada Pengadilan Negeri Palopo
Jadwal Sidang Pengadilan Negeri Palopo
Selain dapat dilihat pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara, Anda juga dapat melihat jadwal persidangan hari ini dengan meng-click tombol di bawah
Akses Salinan Elektronik Putusan Pengadilan Negeri Palopo
Putusan Pengadilan Negeri Palopo yang telah diunggah pada Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat diakses oleh publik